Ekka Blog: Politik Islam

MenuBar

21 April 2020

Politik Islam



Politik Islam 




Politik Islam diartikan sebagai Siyasah Ilahiyyah wa Inabah Nabawiyyah saw. (Abdul Wahab Khalaf, 1984: 6) Hal itu bermakna bahwa politik Islam merupakan serangkaian pandangan hidup berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah yang bermuara pada proses keadilan dan keadaban. Mohd Kamal Hassan (Marican, 1982: 111-137), menyebut politik Islam secara umum terangkum dalam tiga kategori. Pertama, Siyasah Diniyyah, yang berpusat pada wahyu, dan dilaksakan dengan sistem Khilafah dan Imamah. Kedua, Siyasah `Aqliyyah, yang bersumber dari pemikiran manusia, dan berasaskan kedaulatan wilayah (Mulk). Ketiga, Siyasah Madaniyyah, negara utama, Negara madani (fadilah) sebagaimana diutarakan oleh ahli falsafah Muslim, al-Farabi dalam al-Madinah al-Fadilah dan ahli falsafah Yunani, Plato dalam Republic (Amir, 2010: 223). Secara lebih sederhana Kuntowijoyo (1997) mendefinisikan politik Islam sebagai refleksi paradigma, gagasan, perilaku, aksi dan identitas politik masyarakat Muslim secara umum, yang juga memayungi ragam dan corak keagamaan dan orientasi politik umat Islam; mulai dari fundamentalisme, radikalisme, moderatisme, integrisme, dan hingga apolitismequetis.


Dari pengertian di atas, pada dasarnya dapat diringkas dalam dua pandangan umum. Pertama, merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. Sebaliknya, aliran dan model pemikiran yang kedua lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Dua hal tersebut di atas menunjukkan secara gamblang, politik Islam menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan umat Islam itu sendiri.

Model legal formal idealisme politik Islam, seakan membenarkan varian pertama tentang konsepsi Negara dalam Islam ala Munawir Sjadzali. Munawir Sjadzali (1993: 1-2), menyatakan setidaknya ada tiga pendapat tentang konsepsi negara dalam Islam. Namun, aliran ini tidak sependapat pula jika Islam sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah politik dan ketatanegaraan. Pengusung syariat Islam dalam proyek kenegaraan (Indonesia) itu tidak hanya muncul di era reformasi. Namun, dapat terlacak dari geneologi pergerakan Islam pascakemerdekaan.


Sedikitnya ada dua unsur strategis yang terkandung dalam tujuan-tujuan politik yang perlu didefinisikan kembali. Pertama, dari perspektif yang berorientasi nilai, gagasan tentang tatanan politik yang egalitarian atau demokratis mencerminkan prinsip-prinsip dasar politik Islam yang harus diterapkan (yaitu al-‘adl [keadilan], al-musâwâh [persamaan], syûrâ [musyawarah mufakat]) (Effendy, 2009: 215). Selain itu, ada prinsip al-amanah (kejujuran dan tanggung jawab), al-ukhuwah (persaudaraan), al-ta’addudiyah (menghargai kemajemukan atau pluralisme), al-silm (mendahulukan perdamaian), dan amr bi al-ma’ruf nahyian munkar (kontrol) (Abdillah, dalam Hidayat dan Gaus, 2005: 74-75). Prinsip tersebut di atas selaras dengan perintah Allah sebagaimana yang ditegaskan di dalam Alquran sebagai berikut : Prinsip keadilan dan amanah tertuang dalam (Q.S. an-Nisa’, 4: 58). Menghargai kemajemukan atau pluralisme dan Persamaan mengacu pada (Q.S. al-Hujurat, 49: 13). Musyawarah mendasarkan pada Q.S. asy-Syura (42): 38 dan Ali Imran (3): 159. Prinsip mengutamakan perdamaian sesuai dengan Q.S. al-Anfal (8): 61. Prinsip menjalankan Amar ma’ruf nahi munkar berdasar Q.S. Ali Imran (3): 104. Kedua, dari perspektif yang berorientasi tujuan, dengan mengedepankan tujuan sosial-politik semacam ini serta menolak gagasan negara Islam atau ideologi Islam, tokoh-tokoh generasi baru intelektualisme Islam di atas telah mempermudah jalan bagi berlangsungnya integrasi di kalangan arus utama politik nasional, dan karena itu, setidaknya secara teoretis, memperbesar peluang dan kesempatan bagi para partisipannya untuk terlibat sepenuhnya dalam diskursus politik di Indonesia (Effendy, 2009: 215-216). Dengan demikian, reorientasi politik Islam bukan saja difokuskan pada mainstreaming paham-paham moderat dalam beragama, tetapi juga bagaimana agama itu dapat berperan dan berkontribusi positif bagi pembentukan insan kamil Indonesia yang saleh sekaligus kader bangsa Indonesia yang mempunyai kepedulian partisipatoris terhadap persoalan politik, sosial dan budaya serta memiliki kemandirian ekonomi yang kokoh.


Iman selayaknya dipahami sebagai kekuatan penggerak ke arah pembebasan. Gerak pembebasan haruslah bergandengan tangan dengan gerakan menegakkan keadilan. Dan semua ini memerlukan penguasaan ilmu secara mendalam (Maarif, 1995: 203). Oleh karena itu, politik Islam dapat menjadi pelopor reaktualisasi peran empirik dan transformatif Islam melalui agenda aksi politik, ekonomi, dan sosial kebudayaan. Untuk menuju ke sana ada tiga agenda yang perlu disiapkan oleh para pimpinan politik Islam. Pertama, memperbaiki dan meningkatkan efektivitas kinerja politik dengan mempersiapkan manajemen peluang dan pengelolaan resiko yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, mengembalikan legitimasi di hadapan konstituen dengan mengembangkan program-program yang selaras dengan kebutuhan dan aspirasi mereka, terutama melalui program-program layanan publik. Ketiga, keberanian menjalin komunikasi dan bahkan membangun koalisi dengan sesama kekuatan politik Islam (Permata, 2013: 104-105). Guna mengurai hal tersebut, ada beberapa strategi koalisi yang bisa ditempuh, yaitu sebagai berikut : Koalisi ideologis, Koalisi programatis, Koalisi strategis. Saat hal tersebut telah mampu menjadi paradigma pemimpin politik (pemimpin umat), maka pidato Kasman Singodimedjo berikut tampaknya relevan untuk diingat, direnungkan, dan diperbincangkan kembali.

Kekalahan-kekalahan politik yang dialami oleh pihak Islam dalam pergumulannya dengan kekuatan-kekuatan sejarah kontemporer Indonesia barangkali cukup dapat dijadikan alasan untuk mencari format baru bagi keterlibatan Islam dalam membangun kehidupan bangsa Indonesia yang sehat lahir dan batin. Kecerdasan umat dalam membaca gejolak politik dan berpolitik menjadi keniscayaan. Umat senantisa dituntut untuk melakukan ijtihad di ladang politik. Kelapangan dan kejernihan berpolitik pun tampaknya perlu menjadi agenda.








Sumber: Buku Dinul Islam

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Tinggalkan komentar dengan bahasa yang sopan.