Politik
Islam
Politik
Islam diartikan sebagai Siyasah Ilahiyyah wa Inabah Nabawiyyah saw. (Abdul
Wahab Khalaf, 1984: 6) Hal itu bermakna bahwa politik Islam merupakan serangkaian
pandangan hidup berdasarkan perintah Allah dan Rasulullah yang bermuara pada
proses keadilan dan keadaban. Mohd Kamal Hassan (Marican, 1982:
111-137), menyebut politik Islam secara umum terangkum dalam tiga kategori.
Pertama, Siyasah Diniyyah, yang berpusat pada wahyu, dan dilaksakan
dengan sistem Khilafah dan Imamah. Kedua, Siyasah `Aqliyyah, yang
bersumber dari pemikiran manusia, dan berasaskan kedaulatan wilayah (Mulk).
Ketiga, Siyasah Madaniyyah, negara utama, Negara madani (fadilah)
sebagaimana diutarakan oleh ahli falsafah Muslim, al-Farabi dalam al-Madinah
al-Fadilah dan ahli falsafah Yunani, Plato dalam Republic (Amir,
2010: 223). Secara lebih sederhana Kuntowijoyo (1997) mendefinisikan politik
Islam sebagai refleksi paradigma, gagasan, perilaku, aksi dan identitas politik
masyarakat Muslim secara umum, yang juga memayungi ragam dan corak keagamaan
dan orientasi politik umat Islam; mulai dari fundamentalisme, radikalisme,
moderatisme, integrisme, dan hingga apolitismequetis.
Baca juga:
Konsep Pendidikan Islam
Dari
pengertian di atas, pada dasarnya dapat diringkas dalam dua pandangan umum.
Pertama, merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan
formal idealisme politik Islam. Sebaliknya, aliran dan model pemikiran yang
kedua lebih menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Dua
hal tersebut di atas menunjukkan secara gamblang, politik Islam menghadapi
problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan umat Islam itu
sendiri.
Model
legal formal idealisme politik Islam, seakan membenarkan varian pertama tentang
konsepsi Negara dalam Islam ala Munawir Sjadzali. Munawir Sjadzali (1993: 1-2),
menyatakan setidaknya ada tiga pendapat tentang konsepsi negara dalam Islam. Namun,
aliran ini tidak sependapat pula jika Islam sama sekali tidak ada hubungan
dengan masalah politik dan ketatanegaraan. Pengusung syariat Islam dalam proyek
kenegaraan (Indonesia) itu tidak hanya muncul di era reformasi. Namun, dapat
terlacak dari geneologi pergerakan Islam pascakemerdekaan.
Sedikitnya ada dua unsur strategis yang terkandung dalam tujuan-tujuan
politik yang perlu didefinisikan kembali. Pertama, dari perspektif yang
berorientasi nilai, gagasan tentang tatanan politik yang egalitarian atau
demokratis mencerminkan prinsip-prinsip dasar politik Islam yang harus
diterapkan (yaitu al-‘adl [keadilan], al-musâwâh [persamaan], syûrâ
[musyawarah mufakat]) (Effendy, 2009: 215). Selain itu, ada prinsip al-amanah
(kejujuran dan tanggung jawab), al-ukhuwah (persaudaraan), al-ta’addudiyah
(menghargai
kemajemukan atau pluralisme), al-silm (mendahulukan perdamaian), dan amr
bi al-ma’ruf nahyian munkar (kontrol) (Abdillah, dalam Hidayat dan Gaus,
2005: 74-75). Prinsip tersebut di atas selaras dengan perintah Allah
sebagaimana yang ditegaskan di dalam Alquran sebagai berikut : Prinsip keadilan
dan amanah tertuang dalam (Q.S. an-Nisa’, 4: 58). Menghargai kemajemukan atau
pluralisme dan Persamaan mengacu pada (Q.S. al-Hujurat, 49: 13). Musyawarah
mendasarkan pada Q.S. asy-Syura (42): 38 dan Ali Imran (3): 159. Prinsip
mengutamakan perdamaian sesuai dengan Q.S. al-Anfal (8): 61. Prinsip
menjalankan Amar ma’ruf nahi munkar berdasar Q.S. Ali Imran (3): 104. Kedua,
dari perspektif yang berorientasi tujuan, dengan mengedepankan tujuan
sosial-politik semacam ini serta menolak gagasan negara Islam atau ideologi
Islam, tokoh-tokoh generasi baru intelektualisme Islam di atas telah
mempermudah jalan bagi berlangsungnya integrasi di kalangan arus utama politik
nasional, dan karena itu, setidaknya secara teoretis, memperbesar peluang dan
kesempatan bagi para partisipannya untuk terlibat sepenuhnya dalam diskursus
politik di Indonesia (Effendy, 2009: 215-216). Dengan demikian, reorientasi
politik Islam bukan saja difokuskan pada mainstreaming paham-paham
moderat dalam beragama, tetapi juga bagaimana agama itu dapat berperan dan
berkontribusi positif bagi pembentukan insan kamil Indonesia yang saleh
sekaligus kader bangsa Indonesia yang mempunyai kepedulian partisipatoris
terhadap persoalan politik, sosial dan budaya serta memiliki kemandirian
ekonomi yang kokoh.
Baca juga:
Konsep dan Pembinaan keimanan
Iman
selayaknya dipahami sebagai kekuatan penggerak ke arah pembebasan. Gerak
pembebasan haruslah bergandengan tangan dengan gerakan menegakkan keadilan. Dan
semua ini memerlukan penguasaan ilmu secara mendalam (Maarif, 1995: 203). Oleh
karena itu, politik Islam dapat menjadi pelopor reaktualisasi peran empirik dan
transformatif Islam melalui agenda aksi politik, ekonomi, dan sosial
kebudayaan. Untuk menuju ke sana ada tiga agenda yang perlu disiapkan oleh para
pimpinan politik Islam. Pertama, memperbaiki dan meningkatkan
efektivitas kinerja politik dengan mempersiapkan manajemen peluang dan
pengelolaan resiko yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, mengembalikan
legitimasi di hadapan konstituen dengan mengembangkan program-program yang
selaras dengan kebutuhan dan aspirasi mereka, terutama melalui program-program
layanan publik. Ketiga, keberanian menjalin komunikasi dan bahkan
membangun koalisi dengan sesama kekuatan politik Islam (Permata, 2013: 104-105).
Guna mengurai hal tersebut, ada beberapa strategi koalisi yang bisa ditempuh,
yaitu sebagai berikut : Koalisi ideologis, Koalisi programatis, Koalisi
strategis. Saat hal tersebut telah mampu menjadi paradigma pemimpin politik
(pemimpin umat), maka pidato Kasman Singodimedjo berikut tampaknya relevan
untuk diingat, direnungkan, dan diperbincangkan kembali.
Kekalahan-kekalahan
politik yang dialami oleh pihak Islam dalam pergumulannya dengan
kekuatan-kekuatan sejarah kontemporer Indonesia barangkali cukup dapat
dijadikan alasan untuk mencari format baru bagi keterlibatan Islam dalam
membangun kehidupan bangsa Indonesia yang sehat lahir dan batin. Kecerdasan
umat dalam membaca gejolak politik dan berpolitik menjadi keniscayaan. Umat
senantisa dituntut untuk melakukan ijtihad di ladang politik. Kelapangan dan
kejernihan berpolitik pun tampaknya perlu menjadi agenda.
Baca juga:
Konsep Ibadah dalam Islam
Sumber:
Buku Dinul Islam
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Tinggalkan komentar dengan bahasa yang sopan.