SUMBER HUKUM ISLAM : ANTARA METODOLOGI DAN PENERAPAN
Gambar. huseinmuhammad.net
Pengertian Sumber Hukum Islam
Sumber
hukum islam merupakan terjemahan dari lafal masadir al-ahkam atau al-adillah
al-syar’iyyah adalah dalil-dalil hukum syariat yang diambil (diistinbatkan)
daripadanya untuk menentukan sebuah hukum (Az-Zuhaili, 1986: 401). Sumber hukum
islam yang utama adalah Alquran dan Sunnah ( hadis). Ada juga ijtihad yang
merupakan sumber hukum sebagai alat bantu untuk mencapai hukum dalam Alquran
dan Sunnah. Istilah yang terkait dengan perkembangan sumber hukum islam adalah syariah
dan fikih. Perbedaan syariah dan fikih dalam islam.
1.
Pengertian
dan Prinsip Dasar Syariah
Secara
etimologi, kata Syariah berasal dari kata syara’a yang berarti jalan ke sebuah mata air
(Al-Ghazali, 1983:6). Dalam Alquran ada beberapa ayat yang menyebut istilah Syaria,
seperti pada Q.S Al-Jasiyah (45):18, Q.S Asy-Syura (42):13, dan yang lain.
Syariah sebagai bagian dari konsep kajian islam memililik prinsip-prinsip dasar sebagai berikut
(Sodiqin, 2012: 8-14).
a. Meniadakan kesempitan (Q.S.
Al-Baqarah, 2: 185, 286 ).
b. Menyedikitkan beban (dari jumlah 6000
ayat alquran, yang berhubungan dengan hukum hanya sekitar 300an. Itupun
bersifat global dan universal sehingga bisa ditafsirkan sesuai dengan
perkembangan zaman.
c. Bertahap dalam menetapkan hukum
(contoh ayat yang ditetapkan secara bertahap adalah keharaman khamr melalui 5
ayat yakni Q.S. An-Nahl (16): 67, Q.S. Al-Baqarah (2): 219, Q.S. An-Nisa (4):
43, Q.S. Al-Maidah (5): 90-91.
d. Sejalan dengan kemaslahatan manusia (Q.S. Al-Baqarah, 2: 144).
d. Sejalan dengan kemaslahatan manusia (Q.S. Al-Baqarah, 2: 144).
e. Mewujudkan keadilan yang merata (Q.S.
Al-Hujurat, 49: 13).
2.
Pengertian
dan Hakikat Fikih
Secara
etimologi fikih berarti paham yang mendalam. Hasbie Ash-Shiddiqy mengartikan
fikih secara bahasa dengan “memahami sesuatu secara mendalam”. Adapun objek
pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan para mukallaf (seorag muslim yang sudah
balig dan mempunyai beban hukum) dilihat dari segi ketetapan hukum syariat
(Khallaf, 1977: 23).
Hakikat
dari fikih adalah seperti berikut (Syarifuddin, 1997: 4):
a.
Fikih adalah ilmu tentang hukum Allah.
b.
Yang dibahas adalah hal-hal yang
bersifat amaliyah furuiyah (perbuatan manusia).
c.
Berdasarkan dalil tafsili
(terperinci).
d.
Digali dan ditemukan melalui penalaran
seorang mujtahid atau fakih.
Baca juga: Konsep Akhlak dan Pendidikan Karakter dalam Islam
3.
Perbedaan
antara Syariah dan Fikih
Aspek
|
Syariah
|
Fikih
|
Ruang Lingkup
|
Luas, mencakup semua ajaran islam
|
Sempit, merupakan bagian dari syariah
|
Sifat Kebenaran
|
Mutlak dan absolut, karena bersumber
dari wahyu
|
Relatif, karena merupakan produk akal
mujtahid
|
Substansi Ajaran
|
Fundamental, menetapkan pokok-pokok
ajaran islam
|
Instrumental, merupakan rincian atau
penjelasan dari ajaran pokok
|
Keberadaan
|
Terdapat dalam Alquran dan Hadis
|
Terdapat dalam kitab fikih
|
Kesatuan dan Keragaman
|
Hanya satu dan merupakan kesatuan
|
Beragam, terdapat banyak pendapat
|
Sumber: Ali Sodiqin (2012: 23)
Alquran Sebagai Sumber Hukum Islam
1.
Pengertian
Secara
etimologis, Alquran adalah bentuk masdar dari kata qa-ra-a, yaitu qur’anan
yang artinya bacaan. Secara terminologis, Alquran adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril dengan menggunakan
bahasa Arab sebagai hujjah (bukti) kerasulan nabi Muhammad saw., dan
membacanya adalah ibadah (Khallaf, 1977: 39).
Dari definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa hakikat Alquran adalah
(Khallaf, 1977: 47):
a.
Alquran berbentuk
lafaz.
b.
Alquran
menggunakan bahasa Arab.
c.
Alquran
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
d. Alquran
dinukil secara mutawatir (disalin secara berkesinambungan dengan periwayatan
yang mutlak).
2. Kodifikasi dan Otentisitas Alquran
Kodifikasi (pembukuan) Alquran mulai
dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Pembukuan dilakukan dengan
cara mencocokkan tulisan yang ada dengan hafalan para sahabat, sehingga kuat
dugaan bahwa wahyu telah terekam semua dalam bentuk mushaf. Mushaf tersebut
disimpan oleh Abu Bakar sampai beliau meninggal. Mushaf pindah ke tangan Umar
bin Khattab dan disimpannya sampai beliau meninggal. Sepeninggal Umar, mushaf
diserahkan kepada Hafsah binti Umar yang juga isteri Nabi saw. Terakhir, pada
masa Khalifah Usman bin Affan, diadakan pen-tashhihan dan penggandaan
mushaf. Mushaf tersebut disebut dengan mushaf Usmani. Hasil salinan dari mushaf
Usmani tersebut kemudian dikirim ke kota-kota besar yang potensial bagi
penyebaran Islam. Mushaf Usmani inilah yang kemudian dijadikan rujukan bagi
umat Islam sampai sekarang. Hal ini seperti yang tersebut di dalam Alquran
3.
Isi Alquran
Secara garis besar isi Alquran adalah
sebagai berikut :
a.
Prinsip-prinsip
aqidah, syariah, dan akhlak.
b.
Janji-janji
dan ancaman Allah Swt.
c.
Kisah-kisah
para nabi dan umat terdahulu.
d.
Hal-hal yang
akan terjadi di masa datang.
e.
Prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan
f.
Sunnatullah,
atau hukum-hukum Allah yang mengikat pada keseluruhan ciptaan-Nya.
4.
Periode Turunnya Alquran
No.
|
Masalah
|
Periode Makkah
|
Periode Madaniyah
|
1.
|
Penyebutan surat/ayat
|
Surat/ayat Makkiyah
|
Surat/ayat Madaniyyah
|
2.
|
Masa turunnya
|
Sebelum Nabi Muhammad saw hijrah ke
Madinah
|
Sesudah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah
|
3.
|
Jenis ayat
|
Ayatnya pendek-pendek
|
Ayatnya panjang-panjang
|
4.
|
Pembuka ayat
|
Diawali dengan kata ya ayyuhannas
|
Diawali dengan kata ya attuhalladzina amanu
|
5.
|
Isi
|
Pembangunan dasar-dasar ajaran Islam
yang mencakup keimanan dan prinsip-prinsip tauhid, pahala dan ancaman,
kisah-kisah umat terdahulu, dan budi pekerti
|
Pembangunan masyarakat Islam, meliputi masalah
hukum, jihad, ahlul kitab, dan orang-orang munafiq
|
Sumber:
Al-Qattan, 1981: 63-64.
5. Kandungan dan Penjelasan dalam Alquran
Berdasarkan kandungannya, para ulama fikih dan ulama ushul fikih
membagi ayat-ayat Alquran ke dalam dua yakni ayat-ayat hukum dan ayat-ayat
nonhukum. Dalam memahami kandungan Alquran, beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Alquran adalah
satu kesatuan. Ini berarti antara ayat satu dengan yang lain saling melengkapi
dan saling menjelaskan.
b. Sebagian ayat
Alquran memiliki asbabun nuzul atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya
ayat. Asbabun nuzul inilah yang bisa menjelaskan pemahaman historis dan
antropologis sehingga bisa merelevansikan kandungan ayat Alquran dengan
kehidupan modern.
c. Terdapat
penghapusan berita atau ketentuan yang berasal dari masa sebelumnya. Keberadaan
syariat terdahulu bisa digunakan hanya bila ada penjelasan dari Alquran dan
Hadis.
d.
Pemahaman
komprehensif terhadap hukum yang ditetapkan secara bertahap.
6. Fungsi Alquran
a.
Hudan atau petunjuk bagi umat manusia (Q.S. Al-Baqarah, 2: 2).
b.
Rahmat atau kasih sayang Allah kepada umat manusia (Q.S. Luqman, 31: 2-3)
c.
Bayyinah, atau bukti penjelasan tentang suatu kebenaran (Q.S.Al-Baqarah, 2: 185)
d.
Furqan, pembeda antara yang haq dan yang batil, yang benar dan yang salah, yang
halal dan yang haram (Q.S. Al-Baqarah, 2: 185)
e.
Mauizhah, pelajaran bagi manusia (Q.S. Yunus,10: 57)
f.
Syifa, obat untuk penyakit hati (Q.S. Yunus, 10: 57).
g. Tibyan, penjelasan terhadap segala sesuatu yang disampaikan Allah (Q.S.An-Nahl,
16: 89)
h.
Busyra, kabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik (Q.S. An-Nahl, 16: 89)
i. Tafshil, memberi penjelasan secara rinci (Q.S Yusuf, 12: 111)
j. Hakim, sumber kebijaksanaan (Q.S. Luqman, 31: 2)
k. Mushaddiq, membenarkan isi kitab-kitab yang datang sebelumya (Q.S.Al-Maidah, 5: 48)
l. Muhaimin, penguji bagi kitab-kitab sebelumnya (Q.S.Al-Maidah,5: 48) (Sudrajat,
1998: 51).
7.
Penjelasan dan Petunjuk dalam Alquran
Ditinjau dari segi bagaimana penjelasan yang terdapat dalam
ayat-ayat Alquran, para ulama mengkatagorikan ke dalam dua bentuk, yaitu Ijmali
(global) dan Tafsili (terperinci). Dalam Alquran juga ada
konsep qath’i (definitive text) dan konsep zhanni (speculative text).
Baca juga: Konsep Pendidikan Islam
Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
1. Pengertian dan Kedudukan Hadis
Hadis adalah penuturan sahabat tentang Rasulullah saw. baik
mengenai perkataan, perbuatan, maupun persetujuan. Pengertian hadis sering
diidentikkan dengan sunnah. Secara etimologis, kata sunnah berasal
dari kata berbahasa Arab sunnah yang berarti cara, adat istiadat
(kebiasaan), dan perjalanan hidup (sirah) yang tidak dibedakan antara
yang baik dan yang buruk (al-Khathib, 1981: 17). Hadis lebih banyak merujuk kepada ucapan-ucapan
Nabi Muhammad saw., sedang sunnah lebih banyak tertuju kepada perbuatan
dan tindakan Nabi Muhammad saw.
2.
Fungsi Hadis
Para ulama, terutama ulama ushul (Khallaf,
1978: 39-40), membagi fungsi hadis terhadap Alquran adalah sebagai berikut.
a.
Bayan Tafsir yaitu menjelaskan apa yang terkandung dalam Alquran.
b.
Bayan tafshil (memerinci
yang mujmal)
c.
Bayan Taqyid,
memberikan batasan bagi ketentuan Allah Swt. yang bersifat mutlak.
d.
Bayan Takhshish (mengkhususkan
yang umum).
e.
Bayan Taqrir,
yaitu menguatkan apa yang terdapat dalam Alquran.
f. Bayan Tasyri’, dalam
hal ini hadis menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Alquran.
3. Bagian-bagian Hadis
a. Rawi adalah
orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah
didengar dan diterimanya dari seseorang (gurunya).
b. Matan adalah
materi atau isi dari suatu hadis. Matan inilah yang merupakan inti dari
suatu hadis.
c. Sanad adalah
jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad saw
4. Klasifikasi Hadis
a.
Dilihat dari segi bentuknya, sunnah
terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Sunnah qauliyah, adalah ucapan
Nabi saw. yang didengar oleh para sahabat dan disampaikan kepada orang lain.
- Sunnah fi’liyah adalah
perbuatan Nabi saw. yang dilihat para sahabat kemudian disampaikan kepada orang
lain dengan ucapan mereka.
- Sunnah taqririyah adalah
perbuatan sahabat atau ucapannya yang dilakukan di depan Nabi saw. yang
dibiarkan begitu saja oleh Nabi, tanpa dilarang atau disuruh.
b. Dilihat dari segi jumlah sanad atau
perawi yang terlibat dalam periwayatannya, hadis dibagi tiga macam, yaitu:
- Hadis mutawatir adalah hadis
yang disampaikan secara berkesinambungan yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi yang menurut kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk dusta.
- Hadis masyhur adalah hadis yang
diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang tidak mencapai batasan mutawatir dan
menjadi mutawatir pada generasi setelah sahabat.
- Hadis ahad adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi, dua orang perawi, atau lebih yang tidak
memenuhi persyaratan sunnah mutawatir.
c.
Ditinjau dari segi kualitasnya
(diterima atau ditolaknya), hadis dibagi tiga, yaitu:
-
Hadis shahih
-
Hadis hasan
-
Hadis dla’if
-
Hadis maudlu’
5.
Pembukuan
Hadis
Hadis dibukukan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (khalifah ke-7 dari dinasti Bani Umayyah Tahun 99 H). Yang melatarbelakangi Khalifah Umar bin Abdul Aziz membukukan hadis adalah
sebagai berikut :
a. Banyak
penghafal hadis yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia maupun
gugur dalam peperangan.
b. Alquran sudah
berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan menjadi mushaf,
karenanya tidak perlu dikhawatirkan terjadinya percampuran antara Alquran dan
hadis.
c. Islam sudah
melebarkan syiarnya melampaui Jazirah Arab, sementara hadis sangat diperlukan
untuk menjelaskan ayat-ayat dalam Alquran (Al-Khatib, 1981: 185).
Pada Abad ke-3 H, masa Dinasti
Abbasiyah, tepatnya masa pemerintahan Al-Ma’mun sampai Al-Muqtadir (201 H-300
H), mulai diadakan seleksi yang ketat terhadap hadis terutama dalam memisahkan
dan mengumplkan hadis sesuai dengan statusnya.
Baca juga: Dinul Islam
Ijtihad Sebagai Metode Penetapan Hukum
1.
Pengertian
Ijtihad
Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari kata ijtihada-yajtahidu
yang berarti bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga, baik fisik maupun
pikiran. Adapun secara terminologis, ulama ushul mendefinisikan ijtihad
sebagai mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara yang bersifat ‘amaliyah
dari dalil-dalilnya yang terperinci baik dalam Alquran maupun sunnah
(Khallaf, 1978: 216).
2.
Dasar
Penggunaan Ijtihad
Dasar hukum dibolehkannya ijtihad adalah Alquran, Sunnah, dan
logika. Ayat Alquran yang dijadikan dasar bolehnya ijtihad adalah Q.S. An-Nisa’
(5): 59.
3.
Ruang
Lingkup Ijtihad
Hukum Islam dilihat dari segi dalil
(sumber yang menunjukkannya), dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
a. Hukum Islam
tentang sesuatu yang telah ditegaskan secara jelas oleh dalil qath’i dan
tidak mengandung penafsiran atau penakwilan.
b. Hukum Islam
tentang sesuatu, yang ditunjuk oleh dalil zhanni (ayat Alquran dan hadis
mengandung penafsiran dan pentakwilan).
c. Hukum Islam
tentang sesuatu yang disepakati oleh para ulama berdasarkan ijma’ (kesepakatan)
d. Hukum Islam
tentang sesuatu yang sama sekali belum disinggung oleh nash Alquran dan hadis
(Hosen, 1996: 27).
Di antara
keempat klasifikasi di atas, ijtihad hanya bisa dilakukan pada masalah yang
ditunjuk oleh dalil zhanni dalam Alquran, yang berikutnya dikenal dengan
masalah fikih, serta masalah-masalah baru yang hukumnya sama sekali belum
disinggung oleh Alquran dan hadis.
4.
Metode-metode Penetapan Hukum Islam
Metode ada dua yaitu metode yang disepakati oleh para jumhur ulama
(fuqaha’ dan ushuliyyun), dan metode yang masih diperselisihkan
diantara mereka. Metode yang disepakati adalah ijma’ dan qiyas,
sedangkan metode yang masih diperselisihkan adalah istihsan, istishab,
fatwa shahabi, maslahah mursalah, ‘urf dan saddudz dzari’ah.
5.
Mazhab-mazhab dalam Hukum Islam
Dua mazhab besar yang sampai sekarang masih dijadikan sebagai
klaster perbedaan adalah mazhab Sunni dan mazhab Syi’i.
a. Mazhab Sunni merupakan mazhab yang
dikembangkan pada masa Islam awal.
b. Mazhab Syi’ah, mazhab ini lahir akibat
reaksi terhadap golongan ahlu sunnah atas ketidaksepahaman mereka terhadap
pengangkatan Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali) secara
berturut-turut.
Baca juga: Konsep Ibadah dalam Islam
6. Maqashid Syariah sebagai Landasan Metode Penetapan Hukum
Dari segi bahasa, maqashid syariah terdiri dari dua kata
yakni maqashid yakni bentuk jamak dari maQ.S.ud yang artinya
kesengajaan atau tujuan (Wehr,1980: 767) dan syariah secara bahasa
berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air bermakna jalan menuju
ke sumber utama kehidupan (Rahman, 1996: 140). Tujuan konsep maqashid
syariah adalah untuk menjamin, memberi perlindungan dan melestarikan
kemaslahatan bagi manusia secara umum, khususnya bagi umat Islam. Aspek yang
dilindungi meliputi 3 hal yakni: dlaruriyat (primer), hajjiyat (sekunder),
dan tahsiniyyat (tersier). Masalah daruriyyat adalah masalah yang
essensial yang harus dipenuhi.
7. Persyaratan Mujtahid
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. Mujtahid adalah para
ulama yang memiliki kemampuan untuk mengistinbatkan hukum syara’.
Tugas mujtahid sangat berat, disatu sisi dia harus mampu memahami
kandungan-kandungan dalam sumber hukum Islam, di sisi yang lain dia harus mampu
memahami seluk permasalahan yang sedang diijthadkan. Untuk menjadi mujtahid diperlukan beberapa persyaratan yakni:
a. Islam, baligh
dan berakal.
b. Mengetahui
Alquran dan Hadis serta ilmu-ilmu yang melingkupi keduanya (asbabun nuzul,
nasikh mansukh, asbabul wurud, ilmu dirayah, ilmu riwayah, maqashid syariah,
dan lain-lain).
c. Mengetahui
bahasa Arab, ilmu ushul fikih dan ilmu logika, juga mengetahui permasalahan khilafiyah
dan persoalan-persoalan yang sudah diijma’kan.
d. Mengetahui
secara mendalam permasalahan yang sedang diijtihadkan.
8.
Penerapan Ijtihad di Indonesia
Salah satu bentuk nyata dari hasil ijtihad di Indonesia adalah
terwujudnya KHI (Kompilasi Hukum Islam). KHI merupakan salah satu hasil upaya
pemerintah dalam mengupayakan terbentuknya unifikasi hukum Islam di Indonesia.
Dengan menggabungkan beberapa referensi dalam fikih Islam dengan konteks
masyarakat Indonesia, terutama berkaitan dengan peraturan-peraturan yang
berlaku di Negara Indonesia, para ulama dan praktisi hukum merumuskan dalam
satu peraturan yang terwujud dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang
KHI (Kompilasi Hukum Islam). Dalam hal ini umat Islam bila menghadapi masalah
yang terkait dengan Hukum Islam sudah mempunyai rujukan formal. Sekalipun
kekuatan hukumnya tidak sekuat undang-undang, namun keberadaan KHI dapat
menyamakan visi hakim dalam memutuskan perkara di Peradilan Agama (Nurlaelawati,
2010: 23). Rumusan dalam KHI terdiri dari 3 buku yakni: Buku I tentang Hukum
Perkawinan terdiri atas 170 pasal, buku II tentang Hukum Kewarisan terdiri atas
44 pasal, dan buku III tentang Hukum Perwakafan terdiri atas 14 pasal dan 1
pasal Ketentuan Penutup (KHI, 1991).
Baca juga: Manusia dan Agama
Sumber:
Sudrajat,
Ajat dkk. 2016. Dinul Islam. Yogyakarta: UNY Press
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya. Tinggalkan komentar dengan bahasa yang sopan.